PADA 28 Oktober 1928, 85 tahun lalu, pemuda Indonesia dari berbagai
daerah dan organisasi seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong
Batak, Jong Sumatranen Bond, dan lainnya berkumpul di Jalan Kramat Raya
106, Jakarta Pusat.
Mereka mengikrarkan Sumpah Pemuda, perekat yang mempersatukan anak bangsa dari berbagai suku, agama, ras, ataupun golongan.
Sumpah Pemuda adalah monumen penting dalam mencapai kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sumpah Pemuda merupakan rangkaian lanjutan dari Kebangkitan Nasional 1908, yang akhirnya menggerakkan roda perlawanan terhadap penjajah.
Pemuda selalu ditempatkan dalam posisi strategis, sebagai pelopor dan
agen perubahan sosial. Posisi ini sejalan dengan tinta emas yang telah
ditorehkan kepemimpinan pemuda di masa lalu.
Pemuda senantiasa menjadi penghela sejarah, lokomotif dalam setiap
tonggak-tonggak penting sejarah bangsa Indonesia. Tahun 1908, 1928,
1945, 1966, 1998 antara lain beberapa peristiwa sejarah yang selalu
dikaitkan dengan kepeloporan pemuda.
Keteladanan elite masa lalu itu kurang berbekas kalau kita melihat
elite Indonesia hari ini. Pengkhianatan demi pengkhianatan terhadap
kepentingan nasional semakin menjadi perilaku elite, politisi dan
pemerintah.
Kalau dulu, Wahidin Soedirohoesodo dan kawan-kawan berjuang dengan
visi yang jauh ke depan tanpa pamrih, maka pemimpin Indonesia kini hanya
memikirkan kekuasaan jangka pendek tanpa visi dan menghalalkan segala
cara.
Fenomena korupsi telah menjadi way of life dari elite legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Kini, Kita membutuhkan kembali para pemuda yang dapat menghela roda
sejarah. Kita membutuhkan generasi kepemimpinan baru yang mewarisi
karakter Wahidin Soedirohusodo, Tjipto Mangunkusumo, HOS Tjokroaminoto,
Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, dan para pemimpin generasi
pendobrak.
Tanpa itu, Indonesia akan mencapai kebangkrutan nasional.