Fenomena
klasik hukum dalam perkembangan dunia hukum di Indonesia adalah
kritikan organisasi-organisasi keprofesian hukum, serta sorotan
masyarakat (baca: tekanan) terhadap peran lembaga peradilan, maupun
sikap masyarakat yang skeptis atau pesimis terhadap pemberlakuan sistem
hukum maupun institusi hukum yang akhirnya cenderung apatis terhadap
adanya kepastian hukum atas penegakan hukum di Indonesia. Hal ini bukan
saja merupakan kegundahan sebagian masyarakat yang menginginkan
perubahan atas hukum yang berlaku di Indonesia, namun juga perspektif
kaum intelektual dan fakar hukum baik di dalam negeri maupun luar
negeri dalam memandang hukum. Guru besar kriminologi dari Universitas
Indonesia, Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, misalnya, berpendapat
bahwa hukum telah mengalami degradasi nilai, sehingga fungsi hukum
tidak lain dari alat kejahatan, atau dalam bahasa beliau ‘law as a tool
of crime’.
Thomas
M. Franck seorang Profesor Hukum dan Direktur Pusat Studi
Internasional, Universitas New York dalam tulisannya, menyatakan bahwa
“Para ahli AS berpendapat bahwa pembangunan ekonomi memerlukan
pembaharuan hukum. Hukum di negara berkembang dianggap tidak akomodatif
bagi pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi memerlukan hukum yang
dapat menciptakan predictability, stability dan fairness. Hukum di
negara berkembang menganut dualisme hukum yaitu hukum adat dan hukum
peninggalan penjajah. ” Walaupun tulisan ini sudah cukup lama
dipublikasikan, namun melihat dinamika hukum di Indonesia, dengan
terjadinya proses lintas batas atau globalisasi yang dirasakan terjadi
pula di Indonesia, sehingga di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, globalisasi ekonomi merupakan faktor dominan yang
mempengaruhi pembangunan ekonominya termasuk pembentukan hukum di
negara tersebut.
Sistem Hukum Indonesia Dan Hukum Ekonomi
Melihat
fenomena hukum di Indonesia, tidak terlepas dari sistem hukum yang
membentuknya dengan melibatkan para pelaku hukumnya. Sehingga ketika
para praktisi hukum menjalankan tugasnya dan terjadi banyak
’ketimpangan hukum’ seperti apa yang terjadi selama ini, mereka selalu
mengatakan ''hukum positifnya” memang berbunyi begitu. Dengan demikian,
bukankah hal tersebut menjadi dasar dan landasan yang ''benar'' menurut
ilmu hukum yang berlaku selama ini?
Sebenarnya
ilmu hukum yang kita pelajari, kita yakini, dan kita praktikkan pada
hakikatnya adalah Ilmu Hukum Belanda. Buku LJ van Apeldoorn yang
berjudul Pengantar Ilmu Hukum judul aslinya adalah Pengantar Ilmu Hukum
Belanda. Salah satu ciri terpenting dalam sistem hukum Belanda adalah
aliran legal positivism. Hal ini dapat menjadi suatu kekeliruan yang
paling mendasar dalam kehidupan hukum di Indonesia, terutama sekali
ketika pelaksana hukum kita memahaminya secara harfiyah, karena dalam
kajian ilmu hukum, sistem hukum Belanda tergolong pengikut mazhab Roman
Law System (istilah Prof Rahardjo sistem hukum Romawi-Jerman). Sistem
ini dibentuk di benua Eropa yang penggodokannya sejak abad ke-12 dan
13, yang mendasarkan pada tersusunnya peraturan perundang-undangan,
sehingga menurut sistem ini, UU menjadi sumber utama dan hakim tidak
boleh membuat keputusan yang berbeda dengan UU. Dengan perbedaan
penerapan hukum diatas, kemudian berimplikasi terhadap sistem
pendidikan hukum di negara-negara penganut kedua sistem hukum tersebut.
Sistem pendidikan hukum di negara civil law lebih menekankan kepada
metode pengajaran yang bersifat doktrinal, monolog dimana mahasiswa
bersifat pasif dan umumnya diajarkan untuk menghapal
perundang-undangan. Perbandingan suatu teori atau hukum juga jarang
dilakukan, karena umumnya negara-negara civil law berpaham positivisme,
sehingga landasan maupun pemikiran tentang hukum hanya berpedoman
kepada perundang-undangan yang telah terkodifikasi. Hal ini menyebabkan
perbandingan hukum dengan negara lain dianggap kurang penting dan
kurang mempunyai kekuatan hukum apabila dijadikan landasan pembelaan
dalam sebuah peradilan.
Sebaliknya,
sistem pendidikan di negara common law lebih menekankan kepada
practical use yang menekankan kepada putusan hakim, membuat perkuliahan
difokuskan kepada pembahasan kasus hukum dan putusan pengadilan.
Pemahaman terhadap teori hanya diberikan di awal perkuliahan dengan
metode self learning, dimana para dosen hanya memberikan pengantar dan
referensi buku yang harus dipelajari serta dirangkum oleh para
mahasiswa.
Di
dalam pasal 20 AB disebutkan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan
UU. Dalam pandangan aliran Legisme abad XIX, setelah Napoleon
mengundangkan Civil Code-nya, berkembanglah anggapan bahwa UU adalah
hukum itu sendiri. Civil Code bukan saja dianggap sempurna, namun juga
sekaligus dianggap menghasilkan kepastian dan kesatuan hukum. Ini
kemudian berkembang bahwa UU adalah esensi hukum itu sendiri, dimana
hakim hanya mempunyai peran menerapkan UU (meliputi peraturan
perundangan) dalam memberikan putusan hukum.
Kalau
Roman Law System ini dipahami secara kaku, maka tidak ada kekeliruan
hakim dalam memberikan keputusan. Dalam waktu bersamaan, juga tidak ada
tanggung jawab yang dibebankan kepada hakim. Yang salah, keliru, tidak
tepat, tidak adil, atau negatif lainnya adalah bunyi harfiah UU atau
peraturan perundangan, legal maxim-nya, ''memang hukum (peraturan
perundangan) berbunyi begitu''.
Para
ahli berpendapat, bahwa sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi
oleh sistem hukum Eropa Kontinental (civil law). Sistem hukum Indonesia
juga tidak sama dengan sistem hukum Anglo-America. Sebelum kemerdekaan,
hanya Inggris, sang Penjajah, yang mencoba menerapkan beberapa konsep
peradilan ala Anglo Saxon seperti Sistem Jury dan konsep peradilan
pidana. Namun, sejak akhir 70-an, konsep hukum yang biasa digunakan di
sistem Anglo America banyak diadopsi dalam sistem hukum Indonesia.
Tidak hanya konsep-konsep hukum pidana. Konsep perdata dan hukum
ekonomi banyak berkiblat pada perkembangan hukum di Amerika.