Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang ternyata tidak
berpengaruh terhadap perilaku korupsi. Meski berpendidikan tinggi, orang
masih cenderung korupsi.
Hal itu merupakan hasil survei
independen yang dilakukan Institut Survei Perilaku Politik. Survei itu
digelar pada Oktober 2013 di 33 provinsi di Indonesia. Sebanyak 1.500 orang
responden dilibatkan dengan persentase imbang antara wanita dan pria.
Dalam survei tersebut, sebanyak 19,3 persen orang yang berpendidikan tinggi memilih memberi uang 'suap' saat pengurusan KTP. Sementara, 16,3 persen orang berpendidikan rendah memperbolehkan pemberian uang lelah kepada pegawai kelurahan dalam pengurusan KTP.
Dalam survei tersebut, sebanyak 19,3 persen orang yang berpendidikan tinggi memilih memberi uang 'suap' saat pengurusan KTP. Sementara, 16,3 persen orang berpendidikan rendah memperbolehkan pemberian uang lelah kepada pegawai kelurahan dalam pengurusan KTP.
Pendidikan
tinggi didefinisikan sebagai orang yang mendapat pendidikan SMA ke atas
dan berpendidikan rendah untuk orang yang berpendidikan SMP ke bawah.
"Tingginya tingkat pendidikan tidak menjamin orang bersikap lebih
anti-korupsi," ujar peneliti Dendy Susianto di Yogyakarta.
Tingkat ekonomi dinilai juga tidak berpengaruh terhadap perilaku korupsi. Warga dengan tingkat ekonomi tinggi dengan gaji di atas Rp2 juta per bulan memilih memberi uang lelah kepada pegawai kelurahan sebanyak 18 persen. Sementara, sebanyak 16,4 persen warga ekonomi rendah memilih memberi uang pelicin pengurusan KTP.
Dendy mengatakan orang Indonesia masih cenderung menoleransi perilaku korupsi jika mendapat keuntungan langsung seperti pengurusan KTP. Hasil survei menyebut 16,5 persen orang yang disurvei mengatakan boleh memberi uang lelah kepada pengawai kelurahan saat pengurusan KTP. "Meski kecil, angka itu memprihatinkan. Idealnya tingkat toleransi korupsi 0 persen," ujarnya.
Tingkat ekonomi dinilai juga tidak berpengaruh terhadap perilaku korupsi. Warga dengan tingkat ekonomi tinggi dengan gaji di atas Rp2 juta per bulan memilih memberi uang lelah kepada pegawai kelurahan sebanyak 18 persen. Sementara, sebanyak 16,4 persen warga ekonomi rendah memilih memberi uang pelicin pengurusan KTP.
Dendy mengatakan orang Indonesia masih cenderung menoleransi perilaku korupsi jika mendapat keuntungan langsung seperti pengurusan KTP. Hasil survei menyebut 16,5 persen orang yang disurvei mengatakan boleh memberi uang lelah kepada pengawai kelurahan saat pengurusan KTP. "Meski kecil, angka itu memprihatinkan. Idealnya tingkat toleransi korupsi 0 persen," ujarnya.
Sumber : http://www.ti.or.id/index.php/