Korupsi di Indonesia, sudah merupakan “biang kemudaratan ”, yang bisa
meluluhlantakkan hampir semua bidang kehidupan, seperti ekonomi,
politik, hukum (peradilan), sosial, budaya, kesehatan, pertanian, dan
hankam, bahkan kehidupan ber”agama” yang selama ini dianggap sebuah zona
yang sakral dan sarat dengan nuansa moral, ternyata bersarang pula
perilaku amoral bagi pengurus dan pemeluknya. Dampaknya, sangat besar
dan meluas, mulai dari kerugian negara sampai pada fenomena meluasnya
kemiskinan secara struktural. Akibatnya, korupsi melahirkan berbagai
tragedi alami, kemasyarakatan dan juga kemanusiaan. Berbagai upaya
semula diramalkan bisa mencegah-tangkal dan pada akhirnya diharapkan
mampu memberantas tuntas akar korupsi, baik yang dilakukan melalui
penciptaan piranti hukum maupun aplikasi hukum in concreto , ternyata
hasilnya terjadi aplikasi hukum “tebang pilih” (discriminative justice
). De Facto , terjadi penegakan hukum diskriminatif dan kontra
produktivitas.
1. Sekretaris Forum Redam Korupsi (FORK) – Jawa Timur
2. Sekretaris Forum Konsultasi Hukum Bagi Rakyat-–Jawa Timur
3.Ketua Ikatan Notaris Indonesia Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pasar Modal-Jakarta
4.Ketua Dewan Pembina Yayasan Masjid Assalam Puri Mas, Gununganyar-Kota Surabaya
5. Ketua Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Bidang Pembinaan Wilayah Barat-Jakarta
Jumat, 20 September 2013
Persepsi Hukum dan Pembangunan
Kalau secara gamblang Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu konsep
yang di dalamnya terdapat perihal usul tentang perubahan perilaku
manusia yang diinginkan, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat
Pembangunan Hukum adalah bagaimana merubah perilaku manusia kearah
kesadaran dan kepatuhan hukum terhadap nilai-nilai yang hidup dan
diberlakukan dalam masyarakat. Tegasnya membangun perilaku manusia dan
masyarakat harus di dalam konteks kehidupan masyarakat berbangsa dan
bernegara dimana mereka mengerti dan bersedia menjalankan kewajiban
hukumnya sebagai warganegara dan mengerti tentang bagaimana menuntut
hak-hak yang dijamin secara hukum dalam proses hukum itu sendiri.
Pembangunan harus juga ditujukan bagaimana merubah prilaku rakyat bangsa
Indonesia, dari perilaku yang serba terbelakang menuju kearah perilaku
yang lebih maju sosial ekonomi, budaya, akhlak serta perilaku yang
sejahtera dengan memahami hak dan kewajibannya sebagai warganegara.
Dalam konteks ini jelas pembangunan tidak dapat dipisahkan dari
kesadaran dan kepatuhan manusia atau masyarakat terhadap nilai-nilai
hukum. Pembangunan hukum harus dilakukan secara simultan dengan
perencanaan pembangunan lainnya yang dilaksanakan dalam proses
perencanaan pembangunan suatu bangsa secara global, karena sasaran akhir
(goal end) perencanaan pembangunan adalah “prilaku manusia” yang
mematuhi nilai-nilai pembangunan itu sendiri.
Atas dasar pemikiran ini pembangunan hukum yang bermuara pada kesadaran
dan kepatuhan hukum masyarakat haruslah mendapat perhatian yang utama
dari seluruh aspek pembangunan yang direncanakan. Perlu kita ketahui
bahwa hukum sebagai suatu disiplin ilmu sebenarnya mempunyai 2 (dua)
obyek, yaitu obyek formil dan obyek materil. Obyek formil dari ilmu
hukum adalah bagaimana meletakkan dasar dan pegangan agar terciptanya
ketertiban, ketenteraman, kepatutan dan keadilan bagi individu dan
masyarakat, sedang Obyek Materiil dari ilmu hukum adalah bagaimana
menciptakan terbentuknya budaya perilaku manusia dan masyarakat yang
sadar dan patuh serta memahami betul terhadap hak dan kewajibannya
sebagai bagian dari komunitas suatu masyarakat, dari suatu bangsa
dan/atau suatu negara.
Gerakan Anti Korupsi, Optimistis Menuju Kondisi Lebih Baik
Korupsi tidak membuat masyarakat
sejahtera. Hal ini dikarenakan tindakan korupsi merampas hak ekonomi
masyarakat untuk hidup lebih baik. Birokrat sebagai abdi masyarakat
seharusnya melayani rakyat, bukan sebaliknya mendapatkan atau
mengharapkan “kelebihan” dari mayarakat. Demikian setidaknya yang dapat
kita pantau dalam perbincangan publik sehari-hari.
Dalam dekade pasca reformasi atau
sepuluh tahun berjalan upaya-upaya untuk mengurangi perilaku koruptif
ini telah dilakukan. Hasilnya dapat kita lihat dalam pemberitaan korupsi
yang marak di berbagai media, baik media cetak, online maupun media
elektronik. Dalam pemberitaan ini tampak adanya aspek penegakan hukum
terhadap perilaku korupsi. Kasus-kasus korupsi yang menimpa pejabat di
lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif diberitakan telah
disidangkan, atau pelakunya dihukum dan dipenjarakan. Sayangnya dalam
pemberitaan tersebut persepsi yang seringkali muncul adalah maraknya
(kuantitas) tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat ini.
Bukan aspek positifnya yaitu proses penegakan hukum terhadap tindak
kejahatan korupsi ini.
Persepsi ini berpotensi menyumbang
munculnya sikap pesimismtis terhadap langkah-langkah pemberantasan
korupsi. Juga mengakibatkan rasa putus asa di kalangan warga yang
dikhawatirkan memunculkan persepsi kedua, yaitu tentang kegagalan dalam
upaya membangun negara ini. Ada baiknya kiranya cara pandang terhadap
hingar bingar pemberitaan tentang korupsi ini di balik dengan
menggunakan kaca mata optimistis atau positif. Pandangan optimistis ini
secara psikologis menciptakan persepsi positif bahwa korupsi sebagai
suatu tindakan yang berkategori anemy atau “dosa” di dalam NKRI, dan
bukan sebaliknya sebagai budaya yang biasa dan boleh dilakukan. Sikap
positif ini secara psikologis membantu langkah pemberantasan korupsi
menjadi lebih efektif. Cara pandang pesimistis ini secara psikologis
menjadi penghambat untuk melangkah pemberantasan korupsi lebih lanjut.
Di samping menutupi capaian-capaian gerakan anti korupsi selama ini
dilakukan.
Langganan:
Postingan (Atom)